"Apa untuk bikin dirimu betul, kamu harus membuat seseorang jadi salah?"
- Dimas Danang (Pembawa acara, Komika Indonesia)
Siang itu saya sedang bernostalgia lihat masa lalu waktu jalani pekerjaan perkuliahan tahun kemarin, waktu semua masih dilaksanakan dengan bertemu muka.
Tahun kemarin, waktu semester tiga, saya melakukan pekerjaan kuliah kerja lapangan yang pertama. Satu pekerjaan harus dari universitas buat kami mahasiswa, untuk pengenalan dan pembiasaan supaya kami terlatih terjun langsung serta mengenali dunia pendidikan pada anak umur awal di atas lapangan semacam apa.
Satu per satu masa lalu berbentuk gambar serta video yang pernah terekam saya geser serta saya putar berurutan. Terhitung walau cuman seringkali tatap muka di sekolah, tetapi rasa-rasanya benar-benar membahagiakan.
Disana, saya banyak belajar berkaitan bagaimana semestinya menempatkan diri saat mengajar, kenal beberapa jenis pengetahuan serta pengalaman baru, dan yang penting, kenal demikian jenis tipologi beberapa anak. Mulai dari yang ceria, hiperaktif, seringkali tantrum, sampai yang sangat unik, ada anak yang sempat 2x saya jumpai dia playing victim.
"Itu Ustadzah, Alif yang nakal (Bukan nama sebenarnya), tidak ingin share mainan walau sebenarnya mainnya sudah dari barusan," tutur Eka (Bukan nama sebetulnya).
Tempat saya KKL ialah di salah satunya Raudhatul Athfal di Kota Malang, serta dapat disebut cukup maju karena gedung sekolahnya sendiri sampai dipisah ke tiga tempat. Murid-murid yang bersekolah dari sana, disebutkan dengan 'santri' karena memang, RA itu ialah RA Tahfidz.
Saya ingat sekali saya menjumpai peristiwa barusan saat sedang waktu istirahat. Pastinya, untuk mahasiswa yang sedang KKL, pekerjaan saya cuman pengamatan serta kadang-kadang menolong mengajar atas izin Ustadzah yang mengajar dari sana.
Di saat istirahat itu, saya memperhatikan satu-satu skema perilaku santri-santri yang sedang main barusan. Mereka bermain bersama-sama. Tetapi, ada satu anak yang dapat disebut dia tidak ingin share dengan rekan yang lain. Serta yang namanya anak umur awal, kita sudah pasti akran dengan yang namanya sikap egosentris pada anak.
Sikap dimana anak cuman fokus pada dirinya. Eka (bukan nama sebetulnya) asyik bermain sampai akhirnya Alif (bukan nama sebetulnya) tiba serta ajak untuk share mainan tetapi Eka tidak ingin share. Sampai selanjutnya, sebab Alif ialah lelaki, dia juga merampas mainan yang sedang Eka mainkan. Jika berjumpa dengan situasi semacam ini, dapat dipikirkan apakah yang seterusnya berlangsung?
Betul, Eka menangis. Dimana tangisannya pasti menarik perhatian dari Ustadzah yang ada dari sana. Sebetulnya, saya berasa perlu untuk mengatasi situasi itu, karena ya saya memang mengenali urutan dari peristiwa itu.
Tetapi, saya coba lihat dahulu, tanggapan semacam apa seterusnya yang dilaksanakan oleh Eka saat didekati oleh Ustadzah. Sedang Alif, dia ketidaktahuan. Dia cuman ingin bermain mainan yang serupa. Saat mengenali Eka menangis sebab mainannya diambil olehnya, dia lemparkan mainan itu serta selekasnya menyingkir disana. Coba memainkan permainan lain, serta dengan rekan lainnya.
"Eka mengapa nangis?" bertanya Ustadzah,
"Itu Ustadzah, Alif nakal tidak ingin share mainan, walau sebenarnya mainnya sudah dari barusan," tutur Eka.
Lihat itu semua, ingin rasa-rasanya saya ikut campur, tetapi saya lihat faktor yang lain. Satu perihal yang saya tahu, Eka ini satu diantara anak yang saya melihat pertama-tama lakukan yang namanya 'playing victim'.
Diambil dari Wikipedia, Playing Victim juga dikenal dengan 'bermain korban.' Dimana sikap seorang beraga untuk seorang korban untuk beberapa fakta seperti membetulkan pelecehan pada seseorang, merekayasa seseorang, taktik plagiarisme atau cari perhatian. Serta pasti, ini bukan satu hal yang lumrah dilaksanakan oleh seorang anak umur awal. Karena, anak umur awal umumnya berlaku polos serta apa yang ada.
Untungnya, Ustadzah dalam tempat saya KKL lakukan hal yang menurut saya pas dalam menangani persoalan yang waktu itu berlangsung. Dia mengakhiri tanpa ada membetulkan atau mempersalahkan satu dari kedua-duanya Eka serta Alif. Ini menurutku sebuah jalan tengah yang sangat aman, karena tidak ada pribadi yang disakiti.
"Yasudah, Eka serta Alif berbaikan ya. Mainnya dapat share." Tutur Ustadzah.
trik jitu agar anda mendapatkan kemenangan dijudi bola Saya lihat raut Eka, dia stop menangis serta mulai terdiam. Kebalikannya Alif, dia masih ketidaktahuan serta masih bermain dengan anak lainnya. Jika saya bisa menerka isi kepala Alif, kemungkinan waktu itu batinnya katakan gini.
"Loh kok? Kan saya tidak salah. Tetapi yaudah sich ya, lupain saja"
Jangan begitu serius, itu cuman tebakan. Saya bukan orang yang dapat membaca pemikiran orang . Jadi, betul tidaknya tidak paham. Kembali ke permasalahan itu barusan, saya memikir.
Tidak ada asap, jika tidak ada api. Tidak ada pohon, jika akarnya mati.
Sikap Eka yang 'bermain korban' barusan tidak cuman saya jumpai sekali. Tetapi 2x, esoknya dengan masalah yang lain.
Jika tempo hari tentang berebutan mainan, saat ini tentang dia yang merampas jajan temannya. Bertepatan, di RA tempat saya melakukan KKL, santrinya tidak diperbolehkan untuk furniturei jajan di luar sekolah, dimana semua harus bawa bekal dari rumah.
Dari semasing santri tentu bawa jajan yang lain, ini diaplikasikan dengan fakta supaya anak terlatih share dengan rekan yang lain. Serta di saat itu, saya kembali lagi lihat Eka 'bermain korban'
"Ra, saya meminta jajanmu dong," kata Eka
"Buat dua ya Ka," kata Rara (bukan nama sebenarnya)
"Kamu kan bertambah tua Ra, ngalah harusnya,"
Serta selanjutnya, Eka merampas jajan punya Rara. Lihat jajannya diambil, Rara selanjutnya menangis. Waktu itu, saya coba mengatasi kedua-duanya, saya melakukan tindakan seakan-akan tidak mengenali peristiwa sebetulnya serta coba menanyakan pada Rara serta Eka.
"Loh, Rara mengapa nangis?" tanyaku pada Rara
"Itu loh Ustadzah, waktu Rara gakmau ngalah cocok saya meminta jajannya. Waktu ia kikir, walau sebenarnya ia yang bertambah tua," Jawab Eka padaku
Oh ya, memang panggilan santri di RA sana memang menyebut saya dengan panggilan Ustadzah, bukan 'Kak'. Serta dapat disebut, Eka ini adalah anak yang kepandaian linguistiknya berubah secara baik. Dimana, dia dengan seumuran anak empat tahun yang lain, dapat disebutkan benar-benar fasih serta lancar dalam memproses beberapa kata.
Kembali pada permasalahan barusan, saya kembali lagi menanyakan pada Rara, serta Rara cuman diam dengan terus menangis. Hadapi situasi itu, saya coba peluk Rara tanpa ada kembali lagi menanyakan, mengharap dia mnjadi tenang. Serta Eka, bergerak ke lain tempat tanpa ada berasa bersalah.
Adanya ini, saya makin saja ingin tahu, kenapa Eka dapat disebutkan cukup mahir dalam soal 'bermain korban'? makin besar rasa penasaranku untuk cari tahu fakta atas salah satunya sikap Eka barusan.
Siangnya, saat beberapa anak semua sudah pulang, saya coba menanyakan serta mengulik background Eka ke salah satunya Ustdzah dalam tempat saya KKL. Serta, selanjutnya mulai tersingkap fakta-alasan kenapa Eka jadi benar-benar terlatih lakukan playing victim.
Eka adalah anak dari keluarga broken home. Dimana, dia tinggal dengan neneknya. Seperti pengasuhan seorang nenek, umumnya benar-benar 'kolot' sekali.Sedikit-sedikit dituding, sedikit-sedikit dilarang ini, sedikit-sedikit harus itu serta ada banyak lagi.
Jika mencuplik dari isi artikelku yang berjudul "Toxic Parenting, Toksin yang Diwariskan" nenek Eka dapat disebutkan untuk salah satunya orang yang disebutkan "The Controller" dimana anak dikendalikan dengan demikian rupa hingga dia tidak mempunyai ruangan untuk melakukan perbuatan sesuai kehendaknya.
Selayaknya robot atau boneka yang perlu taat pada tuannya. Salah satunya efek dari 'racun' ini ialah rutinitas Eka barusan, dia senang sekali playing victim. Satu sikap yang ada supaya dia merasakan aman serta terlepas dari kekeliruan. Serta, rutinitas ini penting sangkanya untuk dihapus.
Ada hubungannya di antara sikap playing victim ini dengan proses penalaran pada anak. Dapat disebutkan, playing victim satu diantara contoh implikasi silogisme negatif pada anak. Tujuannya bagaimana? Seperti silogisme, dia ialah satu penarikan simpulan yang berdasarkan pada premis umum, lantas premis spesial.
Seperti ini, Premis biasanya ialah, Eka mengenali jika mempersalahkan seseorang dilaksanakan untuk bikin seorang merasakan aman. Sedang premis terutamanya ialah saat dia aman karena itu ada orang yang lain dituding. Disana bisa diambil kesimpulan jika membuat seseorang bersalah, akan membuat dia aman.
Selanjutnya, saat terlanjur berlangsung hal yang semacam ini, dimana anak terlatih playing victim, nikmatnya diapain? Saya coba menanyakan hal barusan ke ustadzah dari sana. Serta ustadzahnya menjawab, sebetulnya banyak langkah yang penting sekali diaplikasikan dalam hilangkan rutinitas jelek anak barusan. Serta ini, tidak dapat jika dilaksanakan dengan sendirian.
Karena, memerlukan kerja sama dengan faksi keluarga, karena bagaimanapun, pada anak umur awal pendidikan dalam keluarga bertambah punya pengaruh dalam pembangunan pribadi. Seperti, kita jangan melepas bukti jika ada peranan background keluarga dalam soal pembangunan watak, background pengasuhan.
Pada masalah Eka, yang malah disayangkan memang karena dia tidak memperoleh keperluan pendidikan emosional yang semestinya dari keluarganya oleh karenanya dalam soal pembangunan pribadinya memang bertambah rawan.
Disamping itu, lingkungan di sekolah. Eka, di kelas adalah anak yang sangat muda, hingga seakan dia jadi yang sangat perlu untuk 'disayangi' oleh beberapa anak yang lain serta jadi pembenaran dalam rutinitas jeleknya barusan dimana anak lain seharusnya mengalah atasnya. Hal tersebut seakan memberi jawaban kenapa Rara cuman diam saat saya menanyakan fakta dia menangis waktu jajannya diambil oleh Eka. Ada beberapa pertaruhan, bisa disebabkan Rara takut, atau sudah pasrah serta malas perpanjang persoalan.
"Jika dari sekolah, apa tidak ada langkah yang dilaksanakan untuk melakukan perbaikan sikap anak ini Ustadzah?"
Serta, jawaban atas pertanyaanku ini membuatku tidak bisa berbicara . Bingung atas faksi mana yang semestinya bertanggungjawab. Karena, dari sekolah sudah teratur membuat yang namanya kelas parenting untuk beberapa wali santri, seringkali membuat tatap muka teratur untuk memberikan laporan ke wali santri berkaitan perubahan semasing anak .
Serta, sebab Eka yang diasuh oleh neneknya yang cukup 'sepuh', karena itu nenek Eka seringkali berhalangan untuk ada dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Fakta ke-2 ialah, karena guru di sekolah yang minim serta tidak sesuai dengan jumlah santri yang ditampung di sekolah itu. Saya mengenali bukti barusan. Betul ada, saat kita meletakkan perhatian ke satu anak, cemas anak lain justru terlewatkan.
Ditambah, dengan situasi guru PAUD yang betul-betul alumnus pendidikan anak umur awal di sekolah saya KKL itu cukup minim, hingga sering perlakuan dari ustadzah yang lain malah membuat anak seperti Eka jadi 'keenakan' lakukan playing victim. Bagaimana tidak, jika saja rupanya Ustadzah menghukum pada anak yang semestinya betul, tidakkah selanjutnya mental satu dari kedua-duanya punya pengaruh?
Ini sebuah kesungguhan yang betul ada seringkali berlangsung dalam kehidupan pengasuhan dan pendidikan pada beberapa anak kita. Di luar sana, masih seringkali saya jumpai 'Eka-Eka' yang lain yang semenjak berumur awal mulai belajar serta nyaman 'bermain korban'.
Oleh karenanya, jadi penting sangkanya untuk kita mengenali bagaimana semestinya berlaku serta hadapi situasi yang semacam ini jika rutinitas barusan ada di anak, adik, atau keluarga kita sendiri. Terus belajar jadi calon orang-tua, orang-tua, kakak, atau serta nenek yang arif dalam mendidik anak.
Orang-orang perlu sangkanya sadar akan keutamaan pendidikan parenting semenjak awal, sebab jadi orang-tua ialah pekerjaan seumur hidup. Serta anak, bukan satu robot yang siap dengan risiko trial and error. Saat anak belajar playing victim, perlu sangkanya ditemui dengan intim. Perlu sangkanya kita memahamkan, jika menjadi betul, tidak perlu dengan mempersalahkan.